PENDAHULUAN
Definisi Istilah
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, yang berarti “hal yang dipegang sebagai suatu opini” atau bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin teologi dan agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang berotoritas oleh gereja.” Istilah ini bukanlah istilah yang asing bagi Alkitab sebab dalam Perjanjian Baru ada beberapa ayat yang menyebutkan kata dogma, dengan berbagai variasi pengertian. Enam di antaranya adalah:
Lukas 2:1; Kisah Para Rasul 17:7; Ibrani 11:23 dengan arti ketetapan, perintah dari kaisar atau raja
Efesus 2:15; Kolose 2:14 dengan arti perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari Musa
Kisah 16:4 dengan arti keputusan Kristen
Dalam ayat Kisah 16:4 dijelaskan oleh Lukas bahwa Paulus dan Silas berjalan keliling di Asia dari kota ke kota sambil menyampaikan dogmata (keputusan-keputusan) yang diambil oleh para rasul dan para penatua di Yerusalem dengan pesan supaya jemaat menurutinya. Keputusan-keputusan ini menyangkut baik “ajaran Kristen,” yaitu kebebasan dari kuk Hukum Musa yang telah digenapi oleh Yesus Kristus maupun “kehidupan Kristen,” yakni menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulkan, dari daging binatang yang mati lemas dan dari darah (bandingkan Kisah Para Rasul 15:20, 29).
Pengakuan Petrus yang dicatat dalam Matius 16:16 pun dapat dikatagorikan sebagai dogma. Ia menyatakan Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang hidup ketika Yesus bertanya kepada murid-murid siapa Ia di mata mereka. Jawaban Petrus ini merupakan suatu konfesi dalam bentuk yang pendek dan sederhana. Dengan seiring perjalanan waktu, dogma tidaklah mungkin lagi seperti itu. Terjadi perkembangan dalam dogmatika yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ditemui.
Sejarah Perkembangan Dogmatika
Istilah “dogmatika” diperkenalkan pertama kali pada abad ke-17, tepatnya tahun 1659, ketika L. Fr. Reinhart menulis sebuah buku teologis yang berjudul Synopsis Teologie ae (Ikhtisar Teologi Dogmatis). Pada awalnya apa yang disebut dogmatika pada saat ini memiliki berbagai istilah, tergantung pada individu yang mengembangkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, di abad kedelapan belas, S. J. Baumgarten menerbitkan bukunya dengan judul Evangelische Glaubenslehre (Ajaran Iman Evangelis 1759-1760), yang memperkenalkan nama “ajaran iman,” yang lalu diikuti oleh F. D. E. Schleiermacher, penulis buku Der Christliche Glaube (Iman Kristen I, II) tahun 1821-1822.
Bapak-bapak Rasuli dan kaum apologet abad kedua dan abad ketiga sesudah Kristus secara langsung memihak kepada penggunaan kata dogma yang nyata dalam Kisah Para Rasul 16:4. Mereka juga tidak hanya menghubungkan kata ini dengan “ajaran Kristen”, melainkan juga dengan “kehidupan Kristen.”
Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kata “dogma” lebih sering dihubungkan dengan “ajaran Kristen” bahkan “ajaran gereja-gereja” daripada “kehidupan Kristen.” Terjadi suatu proses yang menyebabkan terjadinya pemisahan yang hebat antara “kehidupan” dan “ajaran” bahkan antara “praktek” dan “teori” dan menyamaratakan dogma dengan “ajaran gereja.” Hal ini tampak jelas terutama di dalam gereja Katolik Roma. Dalam karangan I Klug umpamanya, seorang teolog Roma yang termasyur pada masa antara perang dunia yang pertama dan yang kedua, ia mendefinisikan dogma sebagai “sebuah dalil yang dinyatakan oleh gereja sebagai kebenaran wahyu dan yang pada waktu yang sama dirumuskan.”
Tempat Dogmatika Di Dalam Seluruh Ilmu Teologi
Dogmatika dapat diumpamakan sebagai ranting dalam “pohon” ilmu teologi. Ada banyak ranting di dalam “pohon” tersebut yang juga disebut teologi sehingga masing-masing ranting itu kemudian perlu memakai nama sifat, umpamanya historika, praktika dan lain-lain. Maka nama-nama ini disebut teologi historika, teologi praktika, teologi biblika, teologi dogmatika dan sebagainya.
Istilah “dogmatika” maupun “teologi” sering dipertukarkan dan dikacaukan dalam penggunaannya sehingga terjadi kerancuan. Padahal dalam bentuk yang sederhananya, istilah ini artinya “perintah”, “ketetapan,” “keputusan,” “resolusi,” “doktrin,” “opini” dan “azas.” Kata kerja dalam bahasa Yunani untuk istilah “dogma” ini adalah dogmatizo, artinya menetapkan atau menitahkan.
Sumber dogmatika adalah Alkitab, seperti halnya juga dengan teologia. Tapi penekanan dalam dogmatika adalah penetapan atau keputusan gereja tentang pokok-pokok ajaran Kristen. Itu sebabnya denominasi-denominasi gereja dapat memiliki dogma masing-masing yang berbeda dan bahkan mungkin ada bagian-bagian yang bertentangan. Sedangkan teologia mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan dogmatika sebab tidak dibatasi oleh tembok-tembok denominasi. Karena itu dalam perkembangan kemudian, dogmatika diterima sebagai suatu cabang dari teologi.
Metode Dogmatika
Metode yang harus dipakai dalam merumuskan dan mempelajari dogma adalah sebagai berikut:
1) Memandang Kitab Suci sebagai sumber dogmatika.
2) Tidak objektif. Ada pautan, penunjuk arah yang harus dipakai oleh penyelidik dogmatika, yaitu pengakuan gereja, agar tidak sia-sia saja dan agar dogmatika dapat memperkaya pengakuan-pengakuan gereja dan tidak malah mempermiskinkannya. Meskipun, kalau perlu, pengakuan dapat dikritik jua.
3) Orang yang mengerjakan juga harus dipandang penting. Dengan singkat harus dinyatakan, bahwa orang yang menyelidiki dogmatika harus percaya akan Kitab Suci sebagai firman Tuhan. Metode yang dianjurkan banyak orang dan yang kelihatannya secara ilmiah, yaitu dengan dasar keobjektifan sebenarnya tidak mungkin dipakai sebab:
a) Keobjektifan di dalam agama tidak mungkin. Kita tak dapat berdiri di luar segala agama, kemudian menyelidiki agama itu.
b) Orang yang tidak percaya tidak dapat membicarakan kepercayaan
c) Cara objektif merendahkan penyataan Tuhan sebab menjadikan pernyataan ini relatif. Dengan demikian kesimpulan dapat ditarik, bahwa orang yang mempelajari dogmatika itu harus orang yang percaya akan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar