Dalam buku The Challenge of the Cults and New Religions, Ron Rhodes menyebutkan empat kegagalan Gereja Kristen yang mendorong berkembangnya keanggotaan gereja-gereja alternative-sesat:
1. Gagal menuntun anggota kepada perubahan kehidupan rohani. Menjadi umat percaya tetapi tidak dibarengi oleh perubahan sikap hidup yang sungguh-sungguh. Artinya bahwa ‘pemuridan’ dan ‘pelatihan’ tidak jalan dalam jemaat. Tidak menemukannya di jemaat sendiri, anggota pergi mencarinya di tempat lain.
2. Gagal memberikan ‘rasa memiliki’. Ada banyak anggota yang berpindah ke tempat yang kita sebut ‘sesat’ karena mereka merasa kesepian, tidak mendapat sahabat, dan tidak menemukan jati dirinya di jemaat. Sebaliknya mereka menemukan rasa diterima, rasa diperhatikan dan berarti dan ambil bagian, dan merasa bahwa mereka ada sumbangsi di tempat lain.
3. Gagal memenuhi kebutuhan dasar anggota. Dewasa ini orang berusaha untuk mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan dasar, seperti: ‘Siapa aku ini?’ ‘Apa arti kehidupan?’ ‘Kemana saya pergi di akhir kehidupan?’. Bila pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak terjawab, anggota beralih untuk mencari jawaban di tempat lain.
4. Gagal menekankan pentingnya pengetahuan doktrin Alkitab. Ajaran sesat sama dengan ajaran palsu, tetapi tanpa memberikan pengetahuan yang memadai kepada anggota akan apa yang disebut kebenaran (Misalnya doktrin mengenai: KeAllahan, Yesus Kristus, Manusia, Dosa dan Keselamatan, Alkitab, dst), dengan mudah anggota akan terpengaruh dengan ajaran sesat.
Bagaimana kondisi di jemaat kita (?) Rasul Paulus menyebutkan jemaat sebagai ‘keluarga Allah,’ ‘jemaat Allah yang hidup,’ ‘tiang penopang’ dan ‘dasar kebenaran.’ (1 Tim 3:15). Jika jemaat kita gagal, kita gagal memenuhi misi yang diberikan Tuhan kepada jemaat. “Marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibr 10:25).
Pada saat gereja meninggalkan lingkungan keyahudiannya, ia menemukan tempat berpijak yg baru : kerajaan romawi dan seluruh bumi ini. Gereja mula-mula membawa serta imannya kepada yesus sang mesias, karena orang yahudi yg mengikuti-nya telah melihat mesias, imanuel ,allah beserta kita, sang bentara kerajaan; dan ia menampakan kehidupan kerajaan itu.
Kini di luar lingkungan yahudi gereja mesti melanjutkan sendiri pengenalannya tentang yesus tersebut . dan memang penekannya sedikit demi sedikit berubah. Karena berhadapan dengan dunia terbuka, ia harus menerjemahkan fungsi gereja purba ke dalam perspektif yg bagi dunia luas memiliki makna.
Kata ibrani yesyua, berubah menjadi yesus. Kata mesias dari bahasa ibrani, menjadi kristus. Pemahaman yesus selaku mesias bersumber pada banyak citra yg muncul dalam perjanjian lama dan tradisi yahudi. Sedikit dari kisah mesias ben daud, sedikit dari mesias ben yusuf, dan sedikit dari kisah umat allah selaku hamba yg menderita dalam yesaya 53 itu.
Gereja membentuk kembali beberapa dari gagasan yahudi yg bermacam-macam itu dan memberinya makna yg baru. Dan karena yesus tidak sepenuhnya “pas” dengan gagasan tradisional tentang mesias, maka gelar itu pun diberi nama baru : mesias menjadi kristus. Orang yahudi tidak melihat yesus selaku mesias, juga mereka tidak dapat juga menunjukan mesianisme dalam diri kristus yg dipercayai gereja sebagai manusia yg pernah berjalan di kota yerusalem dan galilea itu.
“pembacaan alkitab secara keseluruhan meninggalkan kesan yg kuat bahwa mesias akan membawa damai dan ia akan berupa manusia, bahwa allah itu satu dan bahwa peraturan ibadah akan dijalankan seturut dengan ketentuannya.” Namun, gereja telah meninggalkan masa lalu itu, dan memberi fokus kepada kristus dari pada kepada yesus. Apa yg penting kemudian adalah dimensi universal kristus, yaitu kristus kosmis, yg jelas sedikit sekali hubungannya dengan yesus sang manusia yg nyata itu. Selanjutnya, tidak ada lagi perkataan tentang kehidupan yesus dalam pengakuan iman dan tidak ada acuan lagi pada pengajaran-Nya. Namun, ia dipenuhi dengan fungsi penyelamatan dari kristus dan bagaimana ia turun ke bumi menyelamatkan manusia. Masa kehamilan dan kelahiran-nya menjadi petunjuk bagi tugas-nya. Hidupnya dilihat dalam terang kematian-nya. Ia lahir untuk mati dan akibatnya kematian-nya lebih penting dari jalan hidup-nya. Kematian-nya bermakna penyelamatan bagi yg percaya dan melalui kebangkitan-nya, akan bermakna pula sebagai jaminan dan sumber keselamatan tersebut.
Keselamatan yg digambarkan dalam perjanjian baru ternyata memiliki banyak citra. Pemberitaan yesus bahwa keselamatan sudah dekat ternyata terjalin dengan pengajaran-nya akan kerajaan allah. Di sini keselamatan itu memiliki dimensi religius, komunal, individual, dan sosial. Ia menjadi realitas sekarang dan realitas masa depan. Setelah paskah, kematian dan kebangkitan, yesus kristus menjadi citra yg utama akan keselamtan itu. Peristiwa golgota disamakan dengan peristiwa keselamatan itu. Namun tidak seorang pun yg memperhatikan bahwa keselamtan itu sudah nyata. Walaupun memang keselamatan itu berlangsung di dalam sejarah – “menderita dibawah pemerintahan Pontius pilatus , disalibkan, mati, dan dikubur” – barangkali ia terjadi tanpa dan di luar keterlibatan manusia. Orang-orang yg turut mengambil andil dalam kematian-nya hanya tambahan, menjadi penonton drama keselamatan kosmis itu yg tidak menyisakan ruang bagi peran aktif manisia. Kita dipanggil untuk ikut mengumpulkan buah-buah keselamatan itu, tetapi kita tidak dapat ikut serta dengan juruselamat itu dalam tindakan penyelamatan-nya. Tiba-tiba, tanpa sepengetahuan kita, meja keselamtan telah dibentangkan di depan manusia.
Dalam yudaisme, peran umat allah cukup besar dalam drama keselamtan itu. Israel berperan dalam hal itu. Keselamatan yg allah tawarkan kepada Israel memang berlangsung dalam sejarah, tetapi Israel tidak boleh hanya menjadi penontonnya ; Israel harus bersiap, memperlengkapi diri dan ikut “main” bersama. Malaikat tuhan melewati rumah-rumah Israel, hal itu terjadi karena Israel telah siap untuk keselamtan dengan menyiram pintu depan mereka dengan darah anak lembu. Dan ketika dengan tangan yg kuat dan teracung, tuhan menyelamtkan umat-nya dari kuasa mesir, itu terjadi dengan persiapan umat atas keselamtan itu. Mereka menyiapkan roti, yg tidak perlu ditunggu sampai beragi, tetapi membawa tempayan adonan dalam jubah mereka. Mereka mengangkat harta benda mereka keluar dari mesir, dan keselamatan terjadi. Di padang gurun keselamatan terjadi disaat Israel mengangkat torah dipunggungnya. Israel tidak dapat tinggal diam saja. Keselamatan berarti sudah keluar dari mesir dan dan masuk ke dalam dunia dengan membawa torah dipunggungnya. Tanpa jawaban Israel bahwa “segala yg difirmankan tuhan akan kami lakukan” ( kel.19:8), maka tidak akan ada keselamatan.
Jadi keselamatan menurut tradisi yahudi tidak terutama sebagai suatu gagasan teologis, yg sering dihubungkan dengan pemahaman teologis yg jelas buatan manusia. Keselamatan bukan terutama sebagai obat melawan dosa atau dari keberdosaan dunia yg jatuh ini, atau sebagai obat melawan dosa asal. Bukan juga sebagai upaya lari atau berjuang menuju “ yang mengatasi” semua itu. Bumi bukanlah tempat yg asing di mana manusia yg dibebaskan untuk terlibat dalam dunia ini karena tidak ada tempat yg lain ; hanya bumi inilah sebagai kediaman kita yg tuhan ciptakan.
Dears all, menampilkan pandangan Pendeta Hans Ucko tersebut diatas dengan maksud sebagai pembanding bagi posting2 sebelumnya pada topik ini yg sangat berat pada aspek geopolitik internasional dengan menempatkan bangsa Yahudi sebagai "sesuatu yg harus diwaspadai oleh semua agama lain, semua bangsa lain ". Saya pribadi tidak terlalu setuju kalau hanya melihat dari perspektif yg tidak fair bagi bangsa Yahudi. Banyak tokoh - tokoh Yahudi yg menentang cara - cara zionisme yg menghalalkan segala cara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar